Program Kartu Papua Tengah Sejahtera, Jalan Menuju Genosida Karakter

Penulis: Amos Kayame,S.H.

Debat kandidat gubernur Papua Tengah yang berlangsung di Timika pada 19 Oktober 2024, membawa kita pada sebuah refleksi mendalam tentang masa depan orang asli Papua. Dalam debat tersebut, argumen yang mencuat dari kandidat nomor urut 01 dan 03—JWW-AYO dan MeGe—mengenai Program Kartu Papua Tengah Sejahtera seharusnya menggugah kita semua untuk berpikir lebih kritis. Benarkah program ini adalah bentuk kesejahteraan, atau justru merupakan silent operation genocide yang menyamarkan pembunuhan karakter orang asli Papua?

Sejak integrasi Tanah Papua ke dalam NKRI pada tahun 1960-an, bantuan pemerintah berupa bahan makanan dan uang tunai kerap kali diberikan kepada masyarakat Papua. Niat awalnya mungkin mulia, yaitu untuk menyejahterakan, namun apakah bantuan ini benar-benar menguatkan masyarakat atau justru melemahkan akar kemandirian mereka?

Budaya kerja keras yang pernah menjadi ciri khas masyarakat Papua—bertani, berkebun, dan beternak—perlahan-lahan terkikis oleh bantuan yang diberikan tanpa syarat kerja. Hidup menjadi ketergantungan, dan seiring berjalannya waktu, ketergantungan itu meluas hingga ke berbagai lapisan sosial. Akibatnya, kemandirian yang dulu ada, lenyap dari pandangan.

Memasuki era Otonomi Khusus (Otsus) sejak tahun 2001 hingga kini, harapan agar masyarakat Papua dapat “berdikari” atau berdiri di atas kaki sendiri semakin tergerus. Berbagai program, meski membawa janji pemberdayaan UKM, kerap kali tak lebih dari ilusi kesejahteraan. Alih-alih mendorong masyarakat untuk bekerja keras, program-program tersebut sering kali menciptakan mentalitas “terima uang” tanpa usaha. Dan kini, di Papua Tengah, program Kartu Papua Tengah Sejahtera seolah meneruskan pola ini—membangun ketergantungan yang sistemik.

Program konvensional seperti ini tak ubahnya dengan silent operation genocide—operasi diam-diam yang secara halus merusak karakter masyarakat Papua. Pembunuhan karakter ini tidak dilakukan dengan kekerasan fisik, namun dengan merampas harga diri masyarakat melalui program yang membuat mereka semakin bergantung. Jika budaya kerja hilang, dan masyarakat terus-menerus dimanjakan dengan bantuan instan, maka kita akan menyaksikan proses kemunduran besar-besaran dalam tatanan sosial Papua Tengah.

Tak hanya soal ekonomi, dampaknya jauh lebih mendalam. Ketika masyarakat semakin tergantung, mereka tak lagi memiliki kebanggaan atas tanah leluhur, dusun sagu, atau kekayaan alam mereka. Perlahan-lahan, mereka kehilangan identitas sebagai orang Papua yang mampu berdiri tegak di atas negerinya sendiri.

Oleh karena itu, ketika calon gubernur dan wakil gubernur menawarkan program-program konvensional semacam ini, masyarakat harus waspada. Program seperti Kartu Papua Tengah Sejahtera mungkin tampak menjanjikan di permukaan, namun sebenarnya menyembunyikan ancaman besar: pembunuhan karakter yang akan membuat orang asli Papua Tengah terjebak dalam lingkaran ketergantungan tanpa akhir.

Sebagai daerah otonomi baru, Papua Tengah memerlukan pemimpin yang mampu berpikir jauh ke depan, membangun fondasi yang kuat bagi keberlanjutan generasi mendatang. Pemimpin yang tidak sekadar memanjakan masyarakat dengan program instan, tetapi yang mendorong mereka untuk mandiri, kreatif, dan berdikari.

Keberlanjutan hidup 50 hingga 100 tahun ke depan harus dipikirkan matang-matang. Apa gunanya menjadi pemimpin jika generasi mendatang hanya menjadi penerima bantuan tanpa kemandirian? Pemimpin Papua Tengah harus berani mengambil langkah-langkah untuk membentuk masyarakat yang siap menghadapi tantangan, dan yang terpenting, tetap menjaga martabat mereka sebagai tuan di tanah leluhur mereka sendiri.

Otonomi Khusus Papua memberikan ruang yang cukup luas untuk menciptakan kebijakan yang benar-benar memproteksi hak dan masa depan orang asli Papua. Pemimpin yang terpilih harus memanfaatkan peluang ini dengan bijak, mengutamakan keberlanjutan, kemandirian, dan martabat. Jangan sampai kita terjebak dalam program-program yang di permukaan tampak indah, namun di dalamnya hanya menyimpan ancaman bagi karakter dan jati diri kita.

Mari memilih dengan cermat, dan memilih pemimpin yang benar-benar memiliki visi untuk melindungi, mengangkat, dan memuliakan orang asli Papua Tengah, bukan yang justru merampas masa depan mereka dengan program instan yang mematikan semangat kerja dan kemandirian.

+ There are no comments

Add yours