Oleh Alexander Gobai (Ketua Relawan MeGe Papua Tengah)
Budaya Noken
Budaya noken dari konteks umum, seperti dikutip dari ich.unesco.org, Noken adalah jaring atau tas anyaman yang diikat dengan tangan dari serat kayu atau daun oleh masyarakat di Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia. Laki-laki dan perempuan menggunakannya untuk membawa hasil perkebunan, tangkapan dari laut atau danau, kayu bakar, bayi atau hewan kecil serta untuk berbelanja dan menyimpan barang-barang di rumah.
Masyarakat Papua pada umumnya, biasanya menggunakan Noken untuk berbagai kegiatan. Noken berukuran besar (Yatoo) digunakan untuk membawa barang-barang seperti kayu bakar, hasil panen, barang sembako, atau bahkan digunakan untuk membawa anak-anak.
Di balik keunikannya, noken memiliki filosofi yang tak kalah menarik. Noken aslinya dibuat oleh mama-mama di Papua. Berdasarkan filosofinya, Noken khas Papua diyakini melambangkan simbol kehidupan yang baik, kedamaian, dan kesuburan bagi masyarakat di Papua, terutama sebagian besar di Pegunungan Tengah Papua seperti suku Me/Ekari, Damal, Yali, Dani, Lani dan Bauzi.
Dikutip dari westpapuadiary.com, yang menarik dari Noken ini, hanya masyarakat Papua saja yang bisa membuat Noken. Perempuan di Papua sejak kecil sudah harus belajar membuat noken, karena pembuatan Noken dari dulu hingga sekarang bisa melambangkan kedewasaan seorang perempuan. Sebab jika perempuan Papua belum bisa membuat Noken maka dianggap belum dewasa dan itu syarat untuk menikah.
Karena keunikannya, tas tradisional Papua ini masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Pada 4 Desember 2012 dalam sidang UNESCO di Paris, Noken resmi disahkan dan diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda dan dimasukkan ke dalam kategori In Need of Urgent Safeguarding atau Membutuhkan Perlindungan Mendesak.
Dikutip dari cimahikota.go.id, penetapan noken ini dilakukan oleh Arley Gill sebagai Ketua Sidang Komite Antar-Pemerintah ke-7 untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda di Markas UNESCO di Paris, Prancis.
Sistem Noken
Sementara Sistem Noken, berdasarkan Wikipedia.com bahwa sistem Noken adalah sebuah sistem pemilihan umum yang digunakan khusus untuk sejumlah kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah di Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan, Indonesia. Sistem ini dinamai dari noken, yaitu sebuah tas anyaman dari serat kulit kayu yang memiliki peran sentral dalam kehidupan masyarakat Papua. Tidak diketahui secara pasti kapan sistem noken pertama kali digagas. Konon gagasan untuk memasukkan surat suara ke dalam noken muncul secara spontan saat pesta bakar batu yang merupakan sebuah tradisi di Papua, tetapi ada pula yang meyakini bahwa sistem noken sebenarnya diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1970-an dan bukan sebuah tradisi yang sudah dipraktikkan sejak lama oleh masyarakat di wilayah Pegunungan Tengah Papua.
Sistem noken digunakan di wilayah adat Mee Pago (Papua Tengah) dan La Pago (Papua Pegunungan). Walaupun tidak ada definisi umum untuk menentukan sistem pemilihan mana yang dapat dianggap sebagai sistem noken, secara umum terdapat dua pola sistem noken. Pola pertama, yaitu sistem big man (pria berwibawa), menyerahkan pilihan sepenuhnya kepada kepala suku. Kepala suku dapat melakukan pencoblosan untuk warganya atau sekadar memberitahukan pilihan masyarakatnya kepada penyelenggara. Pola kedua, yaitu sistem “noken gantung”, dilandaskan pada hasil kesepakatan bersama masyarakat dengan kepala suku setelah melalui proses deliberasi (melakukan pertimbangan yang mendalam dengan melibatkan semua pihak sebelum mengambil keputusan).
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa sistem noken adalah konstitusional karena dianggap sebagai pendekatan yang paling realistis untuk mencegah konflik dan disintegrasi. Selain itu, sistem noken juga dianggap oleh Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari hak adat masyarakat wilayah Pegunungan Tengah.
Kaiatan Sistem Noken dan Budaya Noken Dalam Pilkada
Sistem noken dan budaya noken mempunyai makna dan maksud yang sama untuk digunakan dalam berbagai kegiatan dan acara. Noken dapat digunakan untuk menyimpan barang hasil kebun juga barang-barang lain yang mudah dibawa kemana-mana. Kebiasaan membawa noken menjadi tradisi dan kebudayaan Masyarakat. Tiap hari tentu akan dapatkan Masyarakat yang membawa noken. Karena sudah menjadi kebudayaan maka dimuatlah di dalam regulasi untuk pelaksaan pemilihan. Hanya saja regulasi tersebut dipermantap dan dibuat Undang-Undang Pilkada bagi sistem noken agar kemudiaan sistem noken dapat dilakukan pemilihan bagi daerah pegunungan.
Budaya dan sistem adalah satu kesatuan yang tidak bisa pisahkan. Karena sudah menjadi budaya atau kebiasaan, sehingga, dibuatlah cara dan pola dipegunakan untuk pemilihan baik legislative dan eksekutif. Sehingga, perdebatan antara daerah sistem noken (daerah pegunungan) merupakan perdebatan sistem noken yang selau terjadi di daerah pegunungan dan sudah menjadi kebudayaan.
Lalu bagaimana dengan TSM di daerah sistem noken, menurut Prof. Otto Hasibuan, Advokat senior, dalam video singkatnya mengatakan undang-undang pemilu mengatur bahwa sengekat bawa ke MK hanya mengatur mengenai surat perselisihan suara, jadi tidak mungkin mempersoalkan TSM dengan timbang waktu dalam 14 hari.
Lanjut, misalkan ada satu kejadian di daerah tertentu dalam pemilihan, kemudiaan dikaitkan TSM. bagaimana bisa mengatakan bahwa itu masif, bahwa masif itukan minimal setengah Indonesia.
“Kalau masuk di arena TSM, asumsinya terstrukturnya dimana, masifnya dimana, sehingga hal ini yang bisa dibuktikan. Ingat ini sengketa bukan pengujian undang-undang. Jangan pernah asumsi tentang TSM. Kalua soal pelanggaran silahkan dibuktikan,” katanya.
Sementara, Pakar hukum, Tata Negara Negara, Prof. Yusril mengatakan, sengketa hasil adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Karena itu MK yang harus diputuskan dalam jangka waktu 14 hari. Itupun hanya sengketa hasil.
“Tapi kalau mau dibuka dari bawa lagi dari masalah pencalonan, tidak mungkin MK menyelesaikan dalam 15 hari. Karena dalam UU 14 hari dan peraturan KPU nomor 4 tahun 2003 mengatakan sidang itu dilakukan dalam waktu 14 hari apa bisa membuktikan TSM dalam 14 hari nggak mungkin,” Katanya.
Oleh karena itu, daerah budaya sistem noken menjadi daerah yang kadangkalh menjadi daerah perdebatan yang bisa dimuatkan oleh pihak pemohon tentang TSM. Hal tersebut, telah dibantahkan dengan pernyataan pakar Tata Negara dan Advokat Senior. Maka, UU Pilkada Pasal 158 tentang ambang batas pun dapat mempengaruhui di dalam sidang-sidang di Mahkamah Konstitusi.
Sebagai Kesimpulan dari tulisan ini ialah, budaya dan sistem noken yang dikaitkan dengan pasal 158 dan Peraturan KPU nomor 4 tahun 2003 telah menjamin hukum bahwa MK hanya memutuskan sengketa perselisihan hasil suara.
Budaya dan sistem telah menyatuh dengan kebiasaan dan kehidupan Masyarakat daerah pegunungan Papua. Bahwa kesepakatan atau mufakat masyarakat menjadi dasar hukum yang dimuat di dalam Keputusan perolehan suara.
+ There are no comments
Add yours